Sabtu, 29 Agustus 2015

Jatuhlah Air Mata Ini ..


Ingin Ngobrol Santai Sama Bapak 

Penulis: Jonih Rahmat

Shardhan 2013-8_ Ingin Ngobrol Santai Sama Bapak
Posted on August 5, 2013 by eka saripudin
Tuhan karunia empat anak kepada kami. Paling besar, Bila, waktu itu, sekolah SMA di Bandung.
Adiknya yang paling kecil masih di Sekolah Dasar. Sedangkan dua anak kami lainnya tinggal
di pesantren. Iki belajar di pesantren paling bersih dan paling hijau dengan pepohonan di Bogor:
Pesantren Daarul Muttaqien, Parung. Kakaknya, Isal, menuntut ilmu di Daar el Qolam. Pesantren
terbesar di Banten. Belakangan, setelah satu tahun, untuk meningkatkan pelajaran bahasa Arabnya,
Iki pindah juga ke pesantren di Wilayah Tangerang itu.
Kecuali anak paling kecil, ketiga anak kami -karena tidak tinggal bersama keluarga- bertemu saya
rada-rada jarang. Ibunya sih, tiap dua minggu atau sebulan sekali menemui mereka di pesantren.
Saya, dulu, ke pesantren dua-tiga bulan sekali atau lebih lama lagi jaraknya. Kadang, karena
berbagai kegiatan, baru ketemu anak-anak pas mereka liburan sekolah, enam bulan sekali.
Kalau banyak kawan mengisi hari-hari Sabtu dan Minggu dengan olah raga bersama rekan-rekan
kerja atau bercengkerama dengan keluarga di rumah, saya lebih banyak menghabiskan waktuwaktu itu untuk diri sendiri. Saya hadiri berbagai seminar, kursus, kuliah, atau mengurus keperluan
yayasan yatim.

Waktu itu, saya berpikir bahwa ibunya, kan, rutin menemui anak-anak. Dia mewakili suaminya atau
bapak anak-anak juga. Jadi, tak masalah kalau saya agak jarang menemui mereka.
Suatu hari, tahun lalu, sepulang dari pesantren, Sri, istri saya menyampaikan pesan dari Isal, putra
kami yang di Tangerang, Banten. Dengan raut muka sedih, Isal mengeluh kepada ibunya, “Bapak
begitu sibuk, hingga sulit bertemu anaknya sendiri. Bapak jarang ke sini. Isal juga ingin ketemu
bapak. Ngobrol santai sama bapak, atau makan nasi bungkus bersama bapak di pesantren.”
Terhenyak saya mendengar pesan anak kedua kami itu. Saya lupa, rupanya, selama ini saya
terlalu mementingkan diri sendiri. Merasa sibuk dengan pekerjaan dan acara-acara lainnya. Untuk
keperluan anak-anak, rasanya, bisa didelegasikan kepada ibunya, atau –tak jarang- diwakilkan
kepada orang lain.
Karena kami sering menerima banyak tamu dari tempat yang jauh, kadang-kadang, kami minta
tolong seorang tetangga dekat atau anak-anak yatim yang sudah senior untuk mengurus keperluan
anak-anak kami dan menemui mereka di pesantren. Anak kami merasa heran, orang tua mereka,
khususnya bapaknya, lebih memberikan perhatian kepada kegiatan lain dibanding menjenguk
anaknya di pesantren.
Saya sering menilai sesuatu dengan melihat sekala prioritas, tapi berdasarkan logika pribadi. Kita
lupa, anak-anak juga punya pikiran dan logikanya masing-masing. Saya mengukur segala sesuatu
dengan ukuran sendiri, tidak melibatkan partisipasi kepentingan anak-anak. Ternyata, mereka bisa
berbeda pandangan dengan kita. Dan, orang tua bisa salah.
Ketika ada anak yang merasa agak dikesampingkan kepentingan dia oleh bapaknya, dan ia
protes dengan caranya sendiri, saya harus merenung, mentafakuri diri. Ternyata saya egois. Saya
menomersekiankan perhatian kepada anak-anak. Saya baru tersadar setelah Isal bilang, “Bapak
jarang ke sini. Isal ingin ngobrol santai dan makan bersama bapak!” Kata-kata itu, terngiang-ngiang
di telinga, menusuk hati, menyalahkan diri. Saya meneteskan air mata.
Satu hari saya ke sekolah anak yang di Bandung. Guru konseling mengundang saya ke ruangannya.
Pak Cucu adalah seorang guru yang metoda-metoda pendekatan yang ia lakukan dalam mendidik
para siswa sering diadopsi DIKNAS dan menjadi model pendidikan yang diterapkan Kementerian
Pendidikan secara nasional.
Setiap murid, Pak Cucu wawancarai. Anak-anak diminta berbicara tentang sekolah, tentang
keluarga. Komunikasi guru-murid itu direkam oleh video.
Saya memasuki ruang kerja guru favorit para murid itu. Pak guru menayangkan rekaman
wawancara. Putri kami, Bila, muncul di layar laptop.
“Saya senang bapak saya punya kepedulian yang tinggi terhadap orang lain. Saya suka bapak
berbuat baik dan disukai tetangga. Saya bangga mempunyai ayah yang mengurus anak-anak
yatim. Waktu bapak habis untuk mereka. Tetapi, saya, anaknya, perlu perhatian juga. Saya juga
ingin sering bertemu bapak. Bapak sangat jarang mengunjungi saya!” Bila berbicara sementara air
matanya bercucuran.
Saya tatap wajah anak yang mengadukan ayahnya yang sering tak jumpa dia. Sering melupakannya.
Pipi saya dialiri cairan hangat yang keluar dari kedua sudut mata. Kembali, saya menangis,
menyesali diri.
Sejak itu, saya berusaha mengubah cara berpikir tentang sekala prioritas yang cenderung sepihak
dan egoistis. Pada setiap acara khusus di sekolah atau pesantren anak-anak, sesibuk apa pun –walau
kadang dalam kondisi badan kurang sehat- saya sempatkan menghadirinya. Saya merasakan betapa
nikmatnya makan di warung nasi kecil bersama keluarga. Alangkah indahnya suasana hati, saat
makan nasi padang di halaman pesantren dengan anak-anak. Rasa hangat pada kertas pembungkus
nasi, itu menunjukan isi bungkusan masih panas. Istri saya biasa memesan nasi padang sebanyak
teman sekamar anak-anak. Isal dan Iki, anak-anak kami, malah tak jarang menambah pesanan untuk
teman-temannya dalam kelompok kegiatan ekstra kurikuler mereka.
Berbicara tentang sibuknya para orang tua sehingga waktu untuk mereka berkomunikasi dengan
anak-anaknya menjadi sangat terbatas, saya pernah mendengar kisah tentang seorang pengusaha
kaya raya di Amerika. Ia mempunyai bisnis di mana-mana. Hartanya, saking banyaknya, nyaris tak
terhingga. Dia sangat sibuk dengan pekerjaannya. Tak ada waktu untuk bercanda bersama keluarga.
Suatu hari, pengusaha itu jatuh sakit. Dokter mengatakan bahwa pebisnis terkenal ini terserang
kanker ganas. Pada hari-hari terakhirnya, orang kaya itu mengalami penyesalan yang dalam. Dia
merasa berdosa kepada anak dan istrinya. Selama ini, dia habiskan waktunya untuk pekerjaan –
yang sebenarnya juga, nanti, untuk dinikmati bersama keluarga. Tetapi saat untuk beristirahat
sejenak bersama anak dan istri, menikmati hasil jerih payah usahanya selama ini, tak pernah
terjadi. Pengusaha kaya itu keburu sakit. Dia pergi meninggalkan harta yang banyak, tetapi ia dan
keluarganya tidak bahagia.
Saya terinspirasi menulis ini, ketika sohib saya, Pak Agus Sapto, sambil menunggu lift untuk
mencapai lantai 9, City Plaza; berbicara tentang keluarga. Begitu lift terbuka, sudah beberapa alinea
saya selesaikan. Setiba di tempat salat dan kultum ramadhan, saya menugaskan tiga indera saya
untuk berkerja secara paralel. Telinga mengarah ke penceramah, mata menunduk ke telepon seluler,
dan jari-jari telunjuk memainkan pad-pad BlackBerry, meneruskan tulisan tentang perhatian kepada
keluarga. Semoga coretan kecil ini bisa menegur hati teman-teman yang suka menghabiskan waktu
di tempat kerja atau di lapangan olah raga; sementara anak-istri sudah lama terkantuk-kantuk,
menunggu di meja makan.
City Plaza, bakda Zuhur, 18 Juli 2013
Salam,
jr

0 komentar :

Posting Komentar

 

Mutiara Hati 2 Template by As Bogor Educare and Yayasan Arrahmah